Selasa, 29 November 2016

Sragen 11


    1. Wisata budaya
    1. Wisata Budaya Secara nasional
    G:\foto sragentegal\1464913431334.jpgBerdasarkan data sensus 2010 Indonesia terdidri dari 1.128 suku bangsa. Keberagaman suku bangsa tersebut mengakibatkan keberagaman hasil budaya seperti jenis  tarian, alat musik dan adat istiadat di Indonesia. Beberapa pagelaran tari yang terkenal di dunia internsional misalnya Sendratari Ramayana yang menceritakan tentang perjalanan Rama dan dipentaskan di kompleks Candi Prambanan. Desa Wisata batubulan yang terletak di Sukawati, Gianyar merupakan desa yang sering dikunjungi untuk pentas Tari Barongan, Tari Kecak dan Tari Legong.
    Beberapa tahun belakangan ini beberapa kota di pulau Jawa mulai mengembangkan konsep karnaval fesyen. Jember Fashion Carnaval secara rutin diadakan sejak tahun 2001 di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Karnaval fesyen lainnya memfokuskan tema pada batik adalah Karnaval Batik Solo yang pertamakali diadakan pada tahun 2008. Selain karnaval fesyen, adapula karnaval yang diadakan untuk memperingati hari jadi kota seperti yang diadakan di kota Yogyakarta dengan nama Jogja Java Carnaval dan di kota Jakarta dengan nama Jak Karnaval yang diadakan secara rutin sertiap bulan Juni.
    Sejarah Kebudayaan Indonesia dari zaman prasejarah hingga periode kemerdekaan dapat ditemukan di seluruh museum yang ada di Indonesia. Total jumlah museum yang tersebar di Aceh hingga Maluku. Sejumlah museum terletak dalam satu kawasan seperti Kota Tua Jakarta yang memiliki enam museum merupakan daerah yang dikenal sebagai pusat perdagangan pada Zaman Batavia dan Taman Mini Indonesia Indah yang menjadi pusat rekreasi dengan jumlah taman dan museum terbanyak salah satu kawasan Indonesia.

    B. Wisata Budaya Kabupaten Sragen
    J:\DCIM\.thumbnails\1464913431687.jpgSalah satu frahmen budaya yang dipentaskan oleh Sanggar Retno Maruti. Gambar foto: dok.tpwi.
    Kabupaten Sragen memiliki banyak sekali wisata budaya, situs dan berbagai meninggalan sejarah. Peninggalan ini dimulai dari sejak 2 juta tahun yang lalu, dengan penemuan manusia purba, jaman islam, maupun jaman pendudukan colonial Belanda.
    Dalam bidang seni budaya masyarakat Sragen, tak akan ada yang bisa mengalahkannya. Seperti budaya tayub. Budaya ini telah menyatu dengan masyarakat Sragen, sehingga dalam acara-acara hajatan banyak masyarakat menggunakan tayub sebagai hiburannya. Selain tayub, Sragen juga memiliki seni cokek. Kesenian cokek sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tayub. Dalam seni cokek, tarian dan iringan lagunya lebih jenaka, sehingga terlihat lebih menawan. Sragen juga memiliki ketoprak lesung, srandil dan Orek-orek. Orek-orek ini berkembang pada saat penjajahan Belanda. Orek-orek berkembang di sekitar pabrik gula Gondang, yang intinya memprovokasi kepada Belanda. Lama kelamaan Belandapun tahu dan melarang seni tersebut. Kemudian para seniman orek-orek pindah ke brangwetan, sebelah timur sungai Sawur. Kini seni tersebut diakui sebagai budaya Madiun.
    Dalam bidang seni tari dan pedalangan Sragen memiliki puluhan dalang kondang (terkenal), baik dalang yang masih tergolong anak-anak, maupun dalang-dalang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, seakan-akan wayang dan pedalangan milik masyarakat Sragen. Sehingga jenis wayangpun menjadi beraneka ragam, ada wayang kulit, wayang beber, wayang kepala (bentuk wayangnya hanya memperlihatkan kepalanya saja), bahkan anak-anak di dirumah-rumah mereka bermain wayang dengan menggunakan wayang yang terbuat dari kertas.
    Seni suara yang telah berkembang pada era ini, seperti campursari, juga berkembang sangat pesat di Kabupaten Sragen. Data yang ada di dinas mencapai lebih dari 100 group (kelompok) campursari. Semua ini membuktikan bahwa setiap orang yang datang ke Sragen akan merasa senang dan terhibur.
    Baiklah, kita akan mencoba mengupas satu persatu kebudayaan yang ada di Sragen, dan dimulai dari situs-situs peninggalan jaman dahulu yang mempengaruhi kehidupan dan budaya masyarakat Sragen.

    1. Petilasan Mangkubumi
    G:\TPWI 2\DSC_9193.JPGPesanggrahan Pangeran Mangkubumi, yang hanya tinggal Pendopo. (gambar foto: dok.tpwi).
    Petilasan ini berlokasi di desa Pandak Karangnongko, Kecamatan Masaran, yang berupa bangunan bekas pesanggrahan. Walau hanya tinggal sebuah pendopo, namun tetap dipertahankan. Pada tahun 1746 Pangeran Mangkubumi meninggalkan keraton Kartasura. Beliau kecewa pada raja Mataram (Pakubuana II) yang telah mengingkari janjinya, Dengan tekad bulat beliau memberontak melawan Mataram yang bersekongkol dengan Kompeni.

    G:\TPWI 2\DSC_9206.JPGDahulu, pesanggrahan Pangeran Mangkubumi berdiri di atas tanah ini. Pada tahun 1982, Pesanggrahan tersebut roboh, oleh bapak Tugiman, yang menjaga lokasi tersebut, didirikan rumah, sebagai tempat tinggalnya. Sedangkan sisa-sia bangunan berupa kayu, dikumpulkan dan didirikan tidak jauh dari lokasi yang sebenarnya. (gambar foto: dok.tpwi).
    Mangkubumi memiliki nama kecil Raden Sujono putra dari Amangkurat IV dengan ibu Mas Ayu Tejawati keturunan Raden Bagus Jambu yang menjabat sebagai Adipati Mangkubumi Sukowati. Raden Bagus Jambu adalah putera Ki Ageng Pemanahan. Pangeran Mangkubumi sendiri statusnya adik dari Susuhunan Pakubuana II.
    G:\TPWI 2\DSC_9208.JPG
    Petunjuk jalan menuju ke Petilasan Pangeran Mangkubumi. (gambar foto: dok.tpwi).
    Saat itu Pakubuana II menjanjikan tanah 4000 karya di tlatah Sukowati jikalau mampu mengalahkan pemberontakan yang dipimpin oleh Adipati Grobogan dan Pangeran Sambernyowo (Raden Mas Said). Namun janji itu diingkari oleh Pakubuana II.
    Selanjutnya, Pangeran Mangkubumi justru bersatu dengan Pangeran Sambernyowo. Untuk mengikat persaudaraan, Mangkubumi menikahkan anaknya yang bernama Rara Inten (Gusti Ratu Bendoro) dengan Raden Mas Said.
    G:\TPWI 2\DSC_9197.JPG
    Tarto Wiyono alias Tugimin, yang menempati petilasan Pangeran Mangkubumi, sedang membawa tumbak (Kyai Sreggi yang tidak mau memakai baju) tinggalan Pangeran Mangkubumi. (gambar foto: dok.tpwi).
    G:\TPWI 2\DSC_9200.JPG
    Pin tanda ngawula di Keraton Yogyakarta. (gambar foto: dok. Tpwi).




    G:\TPWI 2\DSC_9203.JPG
    Pita yang harus dipakai saat sebo ke Keraton Yogyakarta. Pita ini dipakai sebagai tanda bahwa pemakai adalah pejabat atau pegawai Keraton. (gambar foto: dok.tpwi).


    1. Petilasan Joko Budug
    F:\Ngunut\DSC_9342.JPGPintu Makam Joko Budug atau Raden Bangsal. Di hiasi oleh lambang burung garuda Jaman Majapahit. (gambar foto: dok.tpwi).

    Joko Budug adalah sebuah nama samaran yang diberikan masyarakat kepada Raden Bangsal. Raden Bangsal adalah seorang putra raja Majapahit, yang hidup pada abad 15. Raden Bangsal memiliki paras indah dan rupawan. Semua putri ingin menjadi pendampingnya. Namun beliau menolak perintah ayahnya untuk menikah dan menjadi raja di Kerajaan Majapahit.
    F:\Ngunut\DSC_9344.JPG
    Nisan Joko Budug yang memiliki panjang 6,8 meter dan lebar 1,4 meter. (gambar foto: dok.tpwi).
    Beliau lebih memilih menuntut ilmu kesaktian. Raden Bangsalpun pergi meninggalkan Keraton Majapahit untuk mencari guru yang bisa mengajarnya ilmu kesaktian. Beliau naik turun gunung ke luar masuk hutan. Hujan panas dan semak belukar diterjangnya. Semak belukar dan duri yang setiap hari mengenai tubuhnya, membuat banyak kulitnya rusak dan sobek-sobek, yang akhirnya membuat koreng disekujur tubuhnya. Karena itulah oleh masyarakat beliau di sebut Joko Budug.
    F:\Ngunut\DSC_9343.JPGJoko artinya perjaka dan budug artinya koreng yang hampir memenuhi seluruh tubuh. Tak seorangpun mau menerimanya. Akhirnya beliu tinggal bersama seorang nenek, Rondo Dadapan namanya. Suatu hari beliau mendapat khabar bahwa Kerajaan Puan mengadakan sayembara untuk memperebutkan seorang Putri dari Kerajaan Puan yang bernama Dewi Nawangwulan. Raden Bangsal ingin mencoba kesaktiannya dan dapat memenangkan sayembara. Namun Raja Puan tidak berkenan, beliau menyuruh sang patih untuk membersihkan dan memandikan Joko Budug di Desa Gampingan, namun justru Joko Budug dibunuh sebelum acara pernikahannya.
    F:\Ngunut\DSC_9335.JPGBelik yang digunakan untuk mandi dan bersuci. Dipagari oleh akar pohon beringin. (gambar foto: dok.tpwi).

    Atap makam Ki Joko Budug menggunakan jerami. Ki Joko budug telah berpesan agar atap nisannya tidak menggunakan barang yang terbuat dari tanah. Gambar foto: dok.tpwi.

    F:\Ngunut\DSC_9345.JPG
    Lokasi Makam Petilasan Joko Budug berada di Desa Gampingan, Kecamatan Sambirejo. Sebuah makam yang unik dan menarik. Nisannya terbuat dari papan kayu jati berjumlah 4 buah, ditata membentuk seperti makam dengan panjang 6,88 meter dan lebar 1,27 meter. Kayu jati yang dipergunakan untuk makam memiliki ketebalan 13 cm. Kondisi kayu nisan itu sudah mulai rapuh dimakan usia. Atap makam (cungkup) menggunakan jerami, menurut informasi masyarakat Raden Joko Budug tidak menghendaki atap yang terbuat dari tanah. Di sebelah kanan terdapat ritual mandi untuk membersihkan diri sebelum masuk ke makam Raden Joko Budug. Petilasan ini masih dikunjungi para penziarah, terutama pada malam Jum’at legi. Petilasan ini sangat ramai pada malam Jum’at legi di bulan Suro.
    F:\Ngunut\DSC_9337.JPGWaduk di areal Makam Petilasan Joko Budug yang oleh masyarakat digunakan untuk mengairi persawahan. (gambar foto: dok.tpwi).
    Lokasi makam Raden Bangsal cukup luas, dan tidak ada makam lain di kanan kirinya. Di depan makam terdapat peristirahatan yang bisa digunakan untuk istirahat para penziarah. Halaman parkir juga cukup luas, bisa menampung lebih dari sepuluh mobil.

    1. Situs Singopadu
    Situs Singopadu yang terletak di desa Singopadu, Kec. Sidoarjo. Gambar foto: dok.tpwi.
    G:\TPWI 160916\DSC_9401.JPGSitus ini terletak sekitar 5 – 6 km dari kota Sragen, tepatnya di dusun Sumber, desa Singopadu, Kecamatan Sidoarjo. Secara astronomi terletak pada 7 derajat Lintang Selatan dan 111 derajat Bujur Timur dengan elevensi 88 mdpl. Benda-benda cagar budaya ini ditemukan pada saat pergeseran kanal aliran Bengawan Solo yang melintasi desa Singopadu.  Benda-benda yang ditemukan antara lain :
    Dalam ajaran agama hindu, Wisnu disebut Narayana merupakan Dewa yang bergelar sebagai shtiti (pemelihara) yang bertugas melindungi dan memelihara segala ciptaan Brahman (Tuhan).
    Nandiswara dalam agama Hindu adalah  lembu yang menjadi wahana dari Dewa Siwa. Candi yang memiliki arca Nandi dikategorikan sebagai candi yang dipergunakan untuk melakukan pemujaan agama Hindu Siwa.
    Agastya adalah seorang resi dari India Selatan, beliau dilahirkan di Kasi (Benares) dan terkenal seorang penganut Siwa yang taat. Resi Agastya banyak mengajarkan dharma. Di Indonesia beliau disucikan namanya dalam prasasti-prasasti dan kesusastraan kuno.
    J:\DCIM\.thumbnails\1474013672600.jpg
    Salah satu Yoni yang ada di Singopadu. Gambar foto: dok.tpwi.
    Yoni merupakan simbul kandungan untuk melahirkan, atau simbul alat kelamin wanita perwujudan dari Dewi Parwati dan berpasangan dengan lingga yang merupakan simbul alat kelamin pria perwujudan dari Dewa Siwa. Yoni dan lingga juga dikenal sebagai lambang kesuburan.
    Fragmen atau potongan arca tentu saja sulit untuk mendefinisikannya. Namun dilihat dari potongan yang ada, kemontokannya menyerupai kaki arca Agastya.
    Di wilayah nusantara ini banyak sekali situs, yang biasanya ditemukan oleh penduduk desa. Namun situs-situs yang ditemukan pada umumnya telah didahului oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan dipergunakan untuk kepentingan pribadi dan tidak memperhatikan kepentingan umum seperti kepentingan budaya dan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai temuan yang selalu menyisakan potongan. Sedangkan potongan lain telah hilang entah kemana.
    Untuk kepentingan pariwisata, mungkin pemerintah bisa memperbaiki lebih lanjut agar situs-situs yang ditemukan dapat berguna bagi pendidikan dan kepariwisataan di Indonesia.
    1. Situs Ngunut
    F:\Ngunut\DSC_9364.JPGArca-arca peninggalan Ngunut yang tinggal beberapa buah. Beberapa telah hilang dicuri orang. Untuk menghindari pencurian, temuan arca-arca di dusun Sambilenguk ini diberi pagar pengaman. (gambar foto: dok.tpwi).
    Situs Ngunut berlokasi di dusun Sambilenguk, desa Jetis, Kecamatan Sambirejo, merupakan temuan dari masa prasejarah hingga masa klasik. Lokasinya sangat menawan, berada di kaki lereng Gunung Lawu. Benda-benda yang ditemukan di sini diantaranya :
    Arca Dewa wisnu,  yang ditemukan di Sambilenguk, Jetis, Sambirejo dalam keadaan duduk bersila di atas padmasana. Keadaannya sudah tidak utuh lagi, tangannya tinggal 3 buah, dua di depan dan dan satu di kanan belakang. Kepalanya juga sudah tidak ada.
    J:\DCIM\.thumbnails\1473489070959.jpgF:\Ngunut\DSC_9363.JPGArca Sotasomo, arca Santasomo dalam posisi duduk bersila di atas padmasana, dengan posisi kaki saling bertindih. Kepala dan ke dua tangannya hilang. Dibuat dari batu andesit berwarna abu-abu kecoklatan.
    Arca Undertermined, menggambarkan tokoh laki-laki dalam posisi berdiri, tanpa kepala.
    F:\Ngunut\DSC_9362.JPGAntefik, adalah unsur bangunan yang berfungsi sebagai hiasan bagian luar.Antefik sering ditemukan pada bangunan candi dalam bentuk segitiga meruncing dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan itu sendiri. Ia merupakan ornament pada bangunan candi yang terbuat dari batu andesit.
    Yoni, yang ditemukan berukuran sangat kecil. Semua temuan tersebut berlokasi di permandian air panas Ngunut. Di Lokasi Situs Ngunut, terdapat pula beberapa tempat wisata yang sangat mengagumkan, yaitu permandian air panas Sendang Panguripan. Sejarah penemuan situs ngunut sendiri dari permandian air panas Sendang Panguripan.
    Ceritanya ada sebuah pohon besar disamping mata air hangat. Suatu hari pohon itu tumbang dan di bawah akar-akarnya ditemukan beberapa arca. Arca-arca tersebut dikumpulkan dan disimpan tidak jauh dari penemuan tersebut.
    Tak lama setelah situs ditemukan, Bupati Kepala Daerah kemudian dibangun kolam rendam air hangat dan dan kamar mandi sebagai obyek wisata permandian air panas yang dinamankan Sendang Panguripan.
    F:\Ngunut\DSC_9370.JPGGerbang Selamat Datang di permandian air panas Sendang Panguripan. (gambar foto: dok.tpwi).
    Menurut cerita, air panas yang keluar dari mata air panas ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit, terutama penyakit kulit. Namun dipercaya pula dapat menyembuhkan penyakit paru dan asma. Dengan berendam menggunakan air panas tersebut. Tentu saja untuk penyakit yang kronis tidak dapat sembuh hanya dengan berendam sekali.
    J:\DCIM\.thumbnails\1473489661317.jpgKamar kolam rendam Permandian Air Panas Sendang Panguripan (gambar foto: dok.tpwi).
    Bak rendam yang ada di kamar mandi (gambar foto: dok.tpwi).
    Kolam Rendam, telah dibangun tiga kali. Dua kali bibangun oleh pemerinta daerah, namun ke duanya tidak dapat dipakai, karena situasi tanah yang labil membuat retak kolam tersebut. Belum lama ini oleh masyarakat setempat akhirnya dibuatkan kolam rendam dan mushola walau kecil.
    F:\Ngunut\DSC_9367.JPG
    Kolam rendam luar yang dibangun oleh Pembab dan tak lagi bisa digunakan. (gambar foto: dok.tpwi)
    Kolam Rendam ini dibangun oleh pemerintah daerah namun tidak pernah sempat digunakan oleh masyarakat karena baru beberapa hari setelah diresmikan, kolam tersebut telah pecah dan tidak dapat menampung air. Saying, oleh pemerintah daerah lokasi itu dibiarkan begitu saja sehingga membuat pemendangkan yang kurang menyenangkan. Apalagi hal ini terjadi di lingkungan pariwisata, sehingga membuat kurang nyaman pengunjung wisata.
    F:\Ngunut\DSC_9368.JPGKolam rendam luar yang dibangun oleh Pembab dan tak lagi bisa digunakan. (gambar foto: dok.tpwi)
    .Di dalam lokasi wisata ini selain ada taman (walau disebut mini), ada pula mushola dan beberapa buah kamar mandi. Untuk memasuki lokasi wisata dan mandi di kolam rendam di luar, tidak dipungut biaya. Sedangkan bagi mereka yang ingin berendam yang disediakan di dalam kamar mandi, biayanya sekedarnya (tidak ditentukan besarnya).
    F:\Ngunut\DSC_9366.JPG
    Mushola yang dibangun masyarakat Ngunut. (gambar foto: dok.tpwi).
    Sayang lokasi wisata ini kurang mendapatkan perhatian dari mereka yang berwenang mengelolanya. Padahal, lokasi wisata Ngunut merupakan sumbu wisata Sragen bagian selatan, yang mencakup berbagai tempat wisata bagian selatan. Di dalam satu lokasi saja terdapat berbagai lokasi wisata. Bisa dibayangkan, Ngunut sediri telah beberapa obyek, seperti Situs Ngunut, Permandian Air Panas Sendang Panguripan, Situs Kali Teleng dan air terjun kali Teleng. Pemandangan alam sekitar juga sangat mendukung untuk sebuah obyek wisata yang sangat diminati. Letaknya dikaki Gunung Merbabu yang Gagah, tidak jauh dari sumber mata air. Dilengkapi bukit hijau yang merayu mata untuk memandang. Dengan sedikit polesan, lokasi ini akan menjadi tempat wisata yang sangat diminati dan mungkin saja dapat mengalahkan permandian air panas Guci yang ada di Tegal dan Selekta yang ada di Malang.
    Tak Jauh dari lokasi Permandian Air Panas Sendang Panguripan, terdapat lokasi wisata Curug Kali Teleng dan Situs Kali Teleng. Situs Kali Teleng merupakan penemuan rumah (cangkang) binatang laut ratusan tahun lalu yang telah membatu. Benda-benda laut tersebut masih utuh dan berada di Kali Teleng. Kali Teleng adalah aliran sungai yang memiliki bebatuan besar yang menakjubkan. Beberapa puluh meter dari Situs Kali Teleng, terdapat air terjut yang sangat indah. Situasi daerah yang masih alami, menambah keelokan yang tidak terdapat di lokasi wisata lain.
    J:\DCIM\.thumbnails\1473493411559.jpgBongkahan-bongkahan batu di Kali Teleng banyak terdapat kerang laut yang menempel di bebatuan. Oleh dinas kebudayaan ditandai dan disebut sebagai Situs Penemuan yang disebut dengan Situs Kali Teleng.
    Batu kepala yang ada di halaman rumah seorang penduduk dan masih memiliki daya magis. Kekuatan daya magis masih dipercaya oleh masyarakat sekitar.
    J:\DCIM\.thumbnails\1473495664794.jpgTidak jauh dari lokasi tersebut terdapat Situs Kali Teleng. Kali teleng adalah sungai kuno yang banyak memiliki batu-batu besar berserakan. Di dalam batu-batu tersebut banyak tertempel hewan laut.
    J:\DCIM\.thumbnails\1473498942473.jpgBatu Kepala yang ada di sebuah halaman rumah penduduk tidak jauh dari lokasi permandian air panas Sendang Panguripan. Menurut cerita warga sekitar, masih mengandung aura magis. Gambar foto: dok.tpwi.

    1. Situs Candi Tanon
    Situs Candi Tanon berada di desa Kebonagung, Kecamatan Tanon. Di desa Kebonagung ternyata banyak temuan, baik dari masa klasik maupun pada masa prasejarah. Seluruh temuan dikumpulkan di dusun Candi.
    Cerita yang berkembang di masyarakat, desa Candi merupakan petilasan Bupati Candi Bei Ranukusumo yang berjaya sebelum munculnya walisanga. Batu-batu temuan tersebut : Arca Putri ditemukan pada tahun 1953 diserahkan ke Kecamatan Tanon dan saat ini keberadaan benda tersebut tidak diketahui. Arca Ganesa ditemukan pada tahun 2003 diserahkan ke Kecamatan Tanon dan kini keberadaannya juga tidak diketahui. Batu lumpang bentuk segitiga, bentuk segi empat, bentuk segi lima, bentuk bulat. Dua buah batu bata besar, Batu pipisan (batu tutup). Batu uleg-uleg. Dan lain sebagainya.
    1. Situs Mangtup
    Situs Mangtup terletak di desa Sumomorodukuh, Kecamatan Plupuh. Situs ini berupa Yoni. Menurut keterangan warga sekitar, Yoni tersebut digunakan sebagai lambang kesuburan. Pada saat mau panen, masih banyak para petani yang datang dan melakukan doa, agar hasilnya baik.
    1. Dusun Majapahit
    I:\Kampung Mojo\DSC_9430.JPGPunden peninggalan pasukan kavaleri berupa pondasi dan tugu. (ganbar foto: dok.tpwi).
    Di dusun ini terdapat peninggalan pasukan kavaleri dari Kerajaan Majapahit, yang berupa pondasi, tugu dan sumur tua. Bangunan tersebut menggunakan batu bata berukuran besar. Sedangkan sumur tua diyakini oleh masyarakat sekitar bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Hal ini diperkirakan, pelarian tentara Majapahit pada saat perang bubat yang meruntuhkan Majapahit.

    I:\Kampung Mojo\DSC_9436.JPG
    Sumur tua dusun Majapahit. (gambar foto: dok.tpwi).
    Punden artinya sesuatu yang dihormati atau dijunjung tinggi. Berarti, warga dusun Majapahit akan selalu menghormati dan menjunjung tinggi bekas atau petilasan yang menjadi tanda bahwa terbentuknya masyarakat dusun Majapahit ditandai dengan bangunan atau punden tersebut. Walau saat ini sisa bangunan hanya tinggal pondasi dan tugu.
    Sumur tua dusun Majapahit mengandung banyak cerita. Sumur tua ini terletak sekitar 600 meter dari Punden, berupa belik atau mata air. Walaupun sumber mata air tersebut kecil, namun tidak pernah habis walau setiap hari dipakai untuk keperluan warga. Oleh masyarakat, mata air tersebut diberi nama “Sendang Kahuripan”. Pada masa Kerajaan Majapahit di pegang oleh Brawijaya V, Putri Cempa (ibu dari R. Fatah atau raja Demak Bintoro pertama), sempat beberapa tahun hidup di dusun Majapahit, yang selanjutnya melakukan perjalanan ke Gunung Giri daerah Lasem. Ternyata Putri Cempa seorang putri yang ahli beksa (tari) dan ahli rias. Beliaupun sering menjadi tata rias pengantin. Untuk mempercantik wajah calon pengantin, Putri Cempa selalu menggunakan air Sendang Kahuripan.
    I:\Kampung Mojo\DSC_9425.JPGJuru Kunci Sumur Tua, Sendang Kahuripan, Mbah Kinem. (gambar Foto: dok.tpwi).
    Mbah Kinem seorang juru kunci Sendang Kahuripan bertutur, pada saat kemarau panjang, sendang ini pernah digunakan oleh lima dukuh di sekitar dusun Majapahit untuk keperluan memasak. Setiap hari terjadi antrian panjang warga yang ingin mengambil air. Dan ternyata air sendang yang kecil ini tidak pernah mengalami kekeringan. Kini umur Mbah Kinem sudah mendekati kepala tujuh, dulu, Mbah Kinem juga seorang juru rias pengantin sekaligus seorang penari. Ia sendiri bingung, karena sebelumnya ia tidak pernah mengerti tari dan rias. Keahlian itu seperti datang sendiri.
    I:\Kampung Mojo\DSC_9423.JPG
    I:\Kampung Mojo\DSC_9424.JPG
    Tulang binatang koleksi Mbah Kinem. (gambar foto: dok.tpwi).
    Warga Majapahit, dahulu suka menyimpan tulang binatang hasil buruan mereka, yang kini diuri-uri olehnya. Beliau menyimpan beberapa koleksi tulang binatang, seperti rusa, bulus, ayam hutan dan lain sebagainya.
    Pada perang bubat, banyak prajurit Majapahit yang melarikan diri kearah barat. Salah satunya adalah Tumenggung Galuh. Kyai Galuh bersama pengikut setianya terlantar hingga di pegunungan Kendeng. Mereka akhirnya beristirahat di hutan di atas sebuah bukit yang di atasnya tumbuh pohon Sambi yang cukup besar. Kyai Tumenggung Galuh duduk menyandarkan diri di pohon sambi. Untuk menghibur sang Tumenggung, beberapa pengikutnya menyanyikan lagu (gending) Kinjeng Trung. Sementara yang lain menyiapkan keperluan lainnya.
    Akhirnya Kyai Galuh memutuskan untuk tinggal sementara di atas bukit tersebut. Mereka membuat sebuah pedukuhan kecil yang akhirnya disebut dukuh Majapahit.
    Warga dukuh Majapahit tidaklah banyak. Namun sangat terasa bahwa dukuh-dukuh lain disekitarnya sangat menghargai warga dusun Majapahit. Konon ada sebuah cerita dari dusun tetangga bila hajatan dan kedatangan tamu dari dusun Majapahit harus disambut dengan gending Kinjeng Trung. Bila tak ada penyambutan gending, harus disambut dengan acara “Nyugoke geni”. Bila tak ada yang dilaksanakan, maka semua masakan yang dimasak pada saat hajatan tersebut,b tidak akan ada yang matang. Hingga saat ini acara penyambutan tersebut masih tetap berjalan.
    Bekas pemukiman warga Majapahit (sekitar punden), saat ini dibiarkan kosong. Dikabarkan bekas pemukiman tersebut masih menyimpan kekuatan gaib.  Mbah Kinem menceriterakan bahwa pemukiman warga majapahit masih ditunggu dan dijaga oleh para punakawan. Hanoman serta Kresna. Oleh Mbah Kinem, hal ini diwujudkan dengan gambar wayang yang ditempelkan di dinding-dinding rumahnya.
    I:\Kampung Mojo\DSC_9422.JPGI:\Kampung Mojo\DSC_9421.JPGPenjaga Punden dusun Majapahit adalah para punakawan dewa Kresna dan pemilik gunung, Oleh mbah Kinem diibaratkan sebagai Semar, Gareng, Petruk dan Bagong serta Narayana dan Hanoman.
    Hingga kini masyarakat Majapahit masih nguri-uri mitos jika warga masyarakat Majapahit menghadiri upacara pernikahan, harus dipersilakan masuk ke dapur melakukan upacara “nyugoke geni”, bila hal ini tidak dilakukan, maka seluruh masakan yang mereka masak tidak akan pernah matang.
    Gendhing Kinjeng Trung kethuk 2 kerep minggah ladrangan, laras pélog pathet barang (Pothok) [GP]
    Buka -                .  6 6 7 5 6 7 6
    .  2  2  . 2 2 . 3 5 5 6 7 6 5 3 5
    .  6 5 3 2 3 6 5 .  .  5 7 5 6 7 6
    7 6 5 3 2 3 6 5 .  .  5 7 5 6 7 6
    7 6 5 3 2 3 6 5 .  .  5 7 5 6 7 6
    . 2 2 . 2 2 . 3 5 5 6 7 6 5 3 5
    Minggah
    .  6 5 3 2 3 6 5 .  .  5 7 5 6 7 6
    7 6 5 3 2 3 6 5 .  .  5 7 5 6 7 6
    7 6 5 3 2 3 6 5 .  .  5 7 5 6 7 6
    . 2 2 . 2 2 . 3 5 5 6 7 6 5 3 5
    Sesegan
    6 3 6 5 7 5 7 6 5 3 6 5 7 5 7 6
    5 3 6 5 7 5 7 6 5 3 2 3 5 6 3 5
    1. Cokek Sragen
    https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiO_0YwpTQ2nu9wulsXABHXVU9Zb7-rcArtLqGMQzVfZnFOfuLvuV0dwswrItaB1hbNYb0BTyHkzHaHrd329VjRENzuxK37Z_fpZbMaqV1dvaphZ0YT6Wyueus5nz-g8oZsXS2tyhLyHnz/s1600/cokekan.jpgSeni Cokekan. (gambar foto: http://1.bp.blogsport.com).
    Kesenian Jawa yang benama cokek adalah pengembangan dari siter. Jadi urutannya kurang lebih diawalai dengan seni siter, ditambah dengan gendang, menjadi cokek, ditambah boning dan gong menjadi tayub. Baru kemudian disusun klenengan dan pengiring wayang.
    Seni cokek pada saat ini sudah diambang kepunahan. Cokek di Sragen berkembang sangat pesat di era tahun 1960  s/d tahun 1970-an. Banyak kesenian tradisional jenis pasar cokek yang mengamen di tradisional. Cokel kemudian menjadi faporit di dalam masyarakat Indonesia.
    Kesenian  cokek personelnya terdiri dari dua orang penabuh instrument musik dan seorang pesinden tetapi adakalanya hanya terdiri dua orang (pesinden merangkap memainkan kecapai). Instrumen musiknya terdiri dari gendang, gong yang terbuat dari bambu dan satu unit kecapi. Lagu-lagu (gending) yang dibawakan terdiri dari gending-gending yang sedang populer pada masanya. Walau peralatan instrumennya sangat sederhana, namun kenikmatan para pendengarnya sangatlah terasa.
    Seniman cokek berkarya bukan karena memiliki dan mencintai seni cokek, tetapi karena tuntutan ekonomi. Kalau dilihat dari usia para pelaku seni cokek yang usianya sudah tidak muda lagi, perlu dipupuk agr ada generasi penerus. Dalam hal ini perlu adanya campur tangan pemerintah khususnya instansi terkait agar kesenian di negeri tidak punah.
    Cokek memiliki sejarah yang sangat panjang. Pada jaman Mataram, bupati pertama yang memerintah Sukowati adalah Raden Tumenggung Sumonegara I. Pada suatu sore, ada seorang juru siter bernama mbah Surip dari Masaran mbarang siter. Kanjeng tumenggung Sumonegara mendengarkan sambil mengangguk-anggukan kepala. Setelah selesai mbah Surip di suruh naik pendopo. Mbah Surip disuruhnya kembali melantunkan lagu dan Kanjeng Tumenggung mengambil kendang. Dengan dua alat musik tersebut, menjadi semakin hidup.
    Pada saat Kanjeng Patih Wreksadiningran punya acara mirungga, Kanjeng bupati Sukowati membawa mbah Surip dan juru kendang ke ndalem Kepatihan, dan seni cokek di kenal oleh masyarakat Mataram. Perkembangan selanjutnya, seni cokek oleh masyarakat Sukowati digunakan untuk mencari uang. Cokek sendiri berasal dari kata Gaco Ongkek, dengan bermodalkan ongkek yang digunakan untuk memikul peralatan tersebut bisa menghasilkan uang.

    1. Tayub, Kesenian Rakyat Khas Sragen
    Tayub adalah kesenian rakyat khas Sragen. Tayub di nusantara mulai dikenal sejak jaman Kerajaan Singosari. Pertama kali digelar pada waktu Jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Kemudian Tayub berkembang ke Kerajaan Kediri dan Majapahit. Karena adanya pengaruh negatip kesenian Tayub jarang dipentaskan pada masa Kerajaan Demak. Saat itu, kesenian Tayub hanya dapat dijumpai di daerah pedesaan yang jauh dari pusat kota kerajaan.
    Sejak berdirinya kerajaan Pajang dan Mataram, kesenian ini mulai hidup kembali dan dijadikan Tarian Beksan Keraton yang digelar pada waktu acara-acara khusus.
    Seni Tayub merupakan ungkapan kegembiraan untuk menyambut kedatangan tamu dan merupakan bagian dari pesta rakyat. Kesenian ini berupa pertunjukan bentuk tari berpasangan antara tledhek dan  lelaki yang bertamu sebagai penayub.
    Penari Tayub biasanya mengawali pentas dengan membawakan Tari Gambir Anom, sebuah tarian klasik dengan gaya lemah lembut. Setelah itu, mereka menarikan irama-irama yang sedikit rancak. Yang unik dari tarian ini adalah ikut sertanya para penonton atau tamu untuk menari bersama dengan penari Tayub. Tamu yang dipandang terhormat biasanya akan didaulat ikut menari dengan ditandai dengan dikalungkannya sebuah sampur keleher si tamu.
    Kesenian tayub sudah tidak asing lagi bagi warga daerah Sragen dan sekitarnya. Pertunjukan tayub saat ini biasa dilaksanakan warga untuk memeriahkan acara sunatan dan pernikahan. Sehingga menjadi akrab dengan kehidupan di pedesaan.
    Tayub memiliki nilai-nilai positif yang adiluhung, juga menjadi simbol yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan dan punya bobot filosofis tentang jati diri manusia, sehingga nilai-nilai tersebut perlu dilestarikan agar dapat dinikmati generasi penerus bangsa.
    Tayub berasal dari kata ”Toto lan Guyub” tertata secara teratur, yang maknanya tingkah dan gerak harus kompak lahir batin. Selanjutnya seni tayub mengalami perkembangan di daerah Sragen, Wonogiri dan Purwodadi. Di daerah Sragen sendiri, kesenian Tayub banyak berkembang di Kecamatan Jenar, Gesi, Sukodono, Mondokan dan Ngrampal.
    Semaraknya musik modern, popularitas Tayub Sragen tidak tergoyahkan. Bahkan saat ini sangat digemari oleh masyarakat di nusantara. Tidak hanya dikalangan pewayangan, juga masuk pada seni dangdut dan campursari. Mereka menyebutnya dengan gending Sragenan. Maka tidaklah heran, bila banyak dalang yang harus belajar gending tayub Sragenan.
    Apalagi masyarkat Sragen bila punya hajat selalu gantung gong. Gantung gong adalah sebuah istilah, kalau tidak gantung gong sama saja tidak punya hajat.
    Dekade tahun 70-an, berkembang music orkes dangdut. Di Sragen perkembangan music orkes dangdut demikian pesat, hingga disetiap kalurahan memiliki group orkes dangdut. Pada tahun 1974 muncul sebuah group tayup bernama Sekarpuri di Ngarum. Namun selama lebih dari empat tahun perkembangannya tidak dapat mengalahkan orkes dangdut. Untuk itu, Sekarpuri merubah gaya dengan memunculkan gending dangdut rok jawa.
    Gending ini kemudian dipentaskan ke mana-mana. Setelah pentas di Sriwedari Surakarta, mendapatkan anugerah untuk pentas di TBS (Taman Budaya Surakarta). Sejak saat itulah banyak perusahaan rekaman mulai meliriknya. Pada tahun 1982 Sekarpuri mulai rekaman dan best saler dengan lagu “rewel”. Lagu “rewel” tidak hanya disukai oleh masyarakat nusantara. Tetapi juga oleh masyarakat Eropa. Hal ini terlihat saat pentas di Perancis, lagu “rewel” mendapatkan recues hingga 60 kali. Kasetnyapun laku keras hingga ke Suriname. Selain lagu rewel, lagu yang terkenal lainnya adalah ronggeng gunung dan jamu jawa. Lagu-lagu Sekarpuri oleh masyarakat seniman dikenal dengan lagu badutan.
    Lagu badutan adalah sederhana tetapi enak untuk berjoget. Berbeda dengan lagunya Ki Nartosabda yang laras, enak didengar tetapi tidak bisa untuk berjoget. Sedangkan lagu-lagu ciptaan Ki Karno KD, sederhana tetapi dengan gending badutan gaya Sragen-nya menjadi sangat cocok dan enak untuk dijogeti.
    Tayub gending badutan gaya Sragen ini juga telah melanglang buana. Ibu Dirjen Edy Setyowati pernah memperkenalkan pentas di Philipina, banyak para seniman Indonesia lainnya sering mementaskannya di Eropa dan Amerika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar