- Wisata Keagaman
Sejarah telah mencatat bahwa agama Hindu dan Budha banyak mempengaruhi kehidupan spiritual di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya peninggalan sejarah seperti candi dan prasasti di banyak wilayah nusantara ini. Jejak peninggalan agama Budha yang terbesar adalah Candi Borobudur yang terletak di daerah Magelang dan merupakan candi Budha terbesar di dunia dan masuk dalam daftar Warisan Budaya Dunia Unesco pada tahun 1991. Pada abad 13 hingga 16 Islam berkembang dan berpengaruh sangat pesat di nusantara menggantikan era kerajaan Hindu-Budha. Pada masa ini banyak ditemukan Masjid yang merupakan akulturasi kebudayan antara Hindu-Budha Jawa dengan agama Islam seperti terlihat pada Masjid Agung Demak dan Masjid Menara Kudus.
Wisata Agama Sragen
Sragen memiliki banyak tempat wisata keagamaan dan situs-situs budaya yang memperlihatkan bebagai ritual yang patut untuk dikunjungi. Beberapa tempat diantaranya masih dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang masih mengandung aura magis. Serta tempat yang perlu diziarahi untuk mendoakan arwah yang telah disemayamkan.
55. Gunung Kemukus
Gunung Kemukus di Kabupaten Sragen merupakan sebuah wisata religi yang terdapat di Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Secara geografis, Objek Wisata Gunung Kemukus terletak sekitar ± 29 km di sebelah utara kota Solo. Tempat wisata ini merupakan sebuah makam Pangeran Samudro.
Lokasi Wisata Gunung Kemukus dilihat dari sebelah timur, saat air surut. (Gambar Foto : dok.tpwi).
Pangeran Samudro adalah keturunan raja Majapahit terakhir, saat saudaranya (R. Fatah) memenangkan peperangan dan mendirikan kerajaan Islam di Demak, beliau tidak ikut melarikan diri seperti saudara-saudaranya yang lain. Pangeran Samudro bersama Lembu Kenongo (kemudian melakukan siar islam di daerah Ponorogo dan menjadi bupati Ponorogo dengan gelar Batara Katong)dan ibu tirinya Kanjeng Ratu Ontrowulan diboyong ke Kerajaan Demak Bintoro. Pada saat itu umur Pangeran Samudro genap 18 tahun.
Di Demak Bintoro beliau belajar agama kepada Sunan Kalijaga.Setelah dirasa cukup, oleh Sultan Demak beliau disuruh untuk belajar pendalaman kepada Ki Ageng Gugur di Lereng Gunung Lawu (atas saran Sunan Kalijaga) dan mencari saudaranya yang telah bercerai-berai. Dalam perjalananmelakukan siar islam,beliau sempat singgah beberapa saat di daerah Ngreden (desa Ngreden, Kecamatan Juwiring Kab. Klaten). Ajaran beliau yang sangat terkenal adalah keteguhan jiwa dalam menempuh cita-cita.
Bunyi ajaran tersebut diantaranya : “sing sapa duwe panjongko marang samubarang, kang dikarepke bisane kelakon iku kudu nganggo sarono temen, mantep, ati kang suci lan aja slewang-sleweng, kudu mideng marang kang tinuju,cedak-ono demene kaya dene yen arep nekani marang panggonane demenane.” Artinya : Barang siapa yang mempunyai cita-cita atau meraih suatu tujuan itu harus dijalankan dengan serius, mantap dan jangan serong kanan kiri, dekatilah tujuan itu seperti mendekati orang yang engkau cintai.
Dari Ngreden, Pangeran Samudra melanjutkan perjalanan ke lereng Gunung Lawu, tepatnya di desa Gugur. Ki Ageng Gugur menerima dengan baik. Di sini Pangeran Samudra belajar tentang intisari agama islam. Ketika Pangeran Samudra telah menguasai ilmu agama, Ki Ageng Gugur menceriterakan tentang dirinya.
Betapa terkejutnya Pangeran Samudro mendengar cerita bahwa sebenarnya Ki Ageng Gugur adalah kakaknya sendiri. Pangeran Samudro pun menceriterakan amanat dari Sultan Demak untuk menyatukan saudara-saudaranya. Kyai Ageng Gugur menerima dan bersedia dipersatukan kembali dan ikut membangun Kerajaan Demak.
Nisan Pangeran Samudro yang ada di bangsal Sonyoruri. (gambar foto: dok.tpwi).
Setelah selesai berguru, Pangeran Samudro dan dua abdinya kembali ke Demak dan sampailah mereka di desa Gondang Jenalas (sekarang Gemolong). Di sini mereka beristirahat dan bertemu dengan Kyai Kamaliman. Setelah berbincang, Pangeran Samudro berniat bermukim sementara untuk menyebarkan agama islam.
Hanya beberapa bulan Pangeran bermukim di Gemolong, kemudian melanjutkan perjalanan pulang. Sampailah mereka di dusun Kabar (sekarang desa Bogorame) beliau terserang sakit panas.Namun mereka melanjutkan perjalanan hingga dukuh Doyong (wilayah kecamatan Miri). Karena merasa tidak kuat melanjutkan perjalanan, beliau memutuskan untuk beristirahat.Dan karena kondisinya semakin memburuk, beliau memerintahkan seorang abdinya untuk mengabarkan kondisinya kepada Sultan Demak.
Mendengar kabar tentang Pangeran Samudro, Kanjeng Sultan Demak mengamanatkan apabila Pangeran Samudro sampai tiada, jasadnya dimohon dimakamkan di perbukitan di sebelah barat dukuh tersebut, pada saatnya nanti, dukuh tersebut akan menjadi ramai dan dikunjungi orang dari mana saja.
Sedang Ontrowulan ditaman Wisata Gunung Kemukus. (Gabar Foto : TPWI)
Ketika sang abdi sampai kembali ke dukuh Doyong, Pangeran Samudro telah tiada. Maka sesuai dengan amanat Kanjeng Sultan, Pangeran Samudro dimakamkan di atas perbukitan di sebelah barat dukuh Doyong. Pada saat itu perbukitan ini masih berupa hutan, maka di sini dibangun dukuh baru dengan nama dukuh Samudro yang hingga kini dikenal dengan dukuh Mudro.
Mendengar khabar kematian Pangeran Samudro, Raden Ayu Ontrowulan merasa prihatin dan berniat berziarah ke dukuh Samudro dan berniat tinggal di dekat makan Pangeran. Ketika kaki Raden Ayu Ontrowulan akan menginjak lokasi makam, tiba-tiba ada angin kencang, bersamaan dengan itu ada suara membisik di telinga Raden Ayu, “Sebelum melakukan ritual ziarah, sebaiknya ibunda bersuci terlebih dahulu. Tidak jauh dari sini ada sebuah belik (sumber mata air), ibunda bisa mandi dan bersuci.”
Dua belik di Sendang Ontrowulan Taman Wisata Gunung Kemukus. (Gambar Foto : TPWI).
Raden Ayu Ontrowulan sadar dan segera mencari belik yang dikatakan oleh anaknya.Kemudian belik tersebut dinamakan “Sendang Ontrowulan”. Setelah keramas,
rambutnya yang masih basah dikibaskan dan jatuhlah bunga-bunga penghias rambutnya. Konon bunga-bunga tersebut tumbuh mekar menjadi pepohonan nagasari yang dapat dijumpai di sekitar sendang.
Tempat mandi dan bersuci. (Gambar Foto :dok.TPWI).
Pertunjukan Wayang Kulit. Gambar Foto : Bambang Sadarta (WA-tpwi)
Wisata Gunung Kemukus tergolong sangat murah. Biaya masuk ke taman wisata ini hanya Rp. 5.000,-. Khusus pada bulan Juli dan Agustus, banyak para pelajar mengunjungi wisata ini untuk penulisan tugas akhir, baik tingkat SLA maupun Perguruan Tinggi.Setiap hari Kamis malam Jum’at, jumlah pengunjung cukup banyak. Lebih dibandingkan dengan hari-hari biasa. Setiap Kamis malam Jum’at Pon dan Kamis malam Jum’at Kliwon, merupakan puncak kunjungan wisatawan dan penziarah.Tidak kurang dari 10.000 orang pengunjung dari berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa.Setiap malam Jum’at Pon di bulan Suro (Muharam) diadakan pencucian selambu makam Pangeran Samudro, yang biasa disebut dengan ritual “Larab Slambu atau Larab Langse”.
Pada bulan malam Jum’at Pon bulan Muharam biasa diadakan acara ritual upacara adat yang selanjutnya dengan berbagai acara seperti wayang kulit semalam suntuk, campursari, seni tari, sendra tari dan lain sebagainya.
Pentas Ketoprak (Gambar Foto : Bambang Sadarta WA-tpwi).
56. Makam Joko Tingkir
Joko Tingkir merupakan nama lain dari Sultan Hadiwijaya, Raja Kerajaan Pajang yang berkuasa pada tahun 1550-1582. Kerajaan Pajang merupakan pewaris Kerajaan Demak dan cikal bakal kerajaan Mataram yang akhirnya melahirkan Kasultanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta saat ini.
Kompleks pemakaman ini sangatlah sederhana, yang lokasinya di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, di pinggir Bengawan Solo.Di dalam kompleks itu juga terdapat makam orangtua Joko Tingkir, yakni Ki Kebo Kenanga dan Nyi Kebo Kenanga.Seperti kebanyakan makam di Jawa lainnya, makam ini juga sering dikunjungi peziarah yang ingin sekedar berziarah ke makam leluhur dan juga berziarah untuk mendapatkan berkah. Setiap Hari Raya Idul Fitri Pemerintah Kota Surakarta mengadakan tradisi perayaan larung Joko Timgkir dari aliran Sungai Bengawan Solo yang diawali di Tempat Wisata Jurug dan berakhir di Desa Butuh Sragen.
Nisan Ki Ageng Ngerang, Nyi Ageng Ngerang dan Kanjeng Pangeran Haryo Ki Demang Brang Wetan yang berada di depan makam Saultan Hadiwijoyo. (gombar foto: dok.tpwi).
Sejarah singkat Joko Tingkir
Pada Tahun 1582 Masehi ada dua kerajaan besar, Pajang serta Mataram, itu bersua di lokasi Prambanan.Diatas kuda coklat kesayangannya, Sutawijaya dengan kata lain Panembahan Senopati merangsak, memimpin beberapa ribu prajuritnya menghadapi pasukan Pajang.Sesaat di dalam pasukan Pajang yang mulai kocar-kacir, Sultan Hadiwijaya berupaya mengkuasai situasi. Gajah tungganggannya tidak lagi gesit, lantaran penuh luka. Hadiwijaya dengan kata lain Joko Tingkir selalu berupaya menumbuhkan semangat prajuritnya. Baginya, ini memanglah perang yang melelahkan. Sesudah berhari-hari menembus belukar dari Pajang, untuk menyerbu Mataram di Kota Gede, pasukannya malah dihadang waktu melewati Prambanan.
Hadiwijaya tahu, ajalnya telah dekat. Berarti, sebentar lagi kerajaannya yang di bangun dengan susah payah juga bakal roboh. Namun anak putra putra Ki Ageng Pengging ini tidak menyerah. Walau yang dihadapi dalam perang adalah anak angkatnya sendiri. Ia paham, tidak bakal lama lagi ramalan Sunan Prapen terwujut : Mataram menghancurkan Pajang! Semua ini kelirunya sendiri. Telah sepantasnya Sutawijaya geram, lantaran ia sudah membunuh Pangeran Pabelan, sekalian buang ayahnya, Tumenggung Mayang, yang tidak lain adik ipar Sutawijaya, ke Semarang.
Namun semua telah berlangsung. Perang telah berlangsung, walau jumlah pasukan Pajang, 2 x lipat dari pasukan Mataram, makin tertekan.Sultan Hadiwijaya tidak dapat lagi menghidupkan semangat pasukannya.Tombak yang meluncur deras mengenai perut gajah tungganginya, membuat senopati Kerajaan Demak terungkur. Raja besar itu makin terguncang saat di dalam kecamuk perang, Gunung Merapi mendadak meletus, laharnya menerjang pasukan Pajang yang sedang berperang.
Sultan Hadiwijaya tahu, senjakala baginya telah tiba.Ia juga menarik menarik sisa-sisa pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia berkunjung ke makam Sunan Tembayat, tetapi tidak dapat buka pintu gerbang makam. Ia juga merasa bahwa ajalnya telah tiba. Namun iaingin mati di Pajang. Malang baginya, iajatuh dari punggung gajah tunggangannya. Jaka Tingkir akhirnya wafat (1582), dimakamkan di desa Perlu, Sragen, yang disebut kampung halaman kandungnya, Nyi Ageng Pengging.
Lima tahun sesudah kematian Sultan Hadiwijaya, Kerajaan Pajang tamat. Pajang juga jadi negeri bawahan Mataram, di pimpin oleh seseorang bupati, yakni Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Sesudah beberapa ratus tahun kematiannya, sekurang-kurangnya sampai saat ini ada dua makamyang dipercaya orang sebagai makam Sultan Hadiwijaya. Satu makam di Kota Gede, satunya lagi di desa Perlu, Kecamatan Plupuh, Sragen. Di Desa Perlu, makam Sultan Hadiwijaya itu ada di kompleks pemakaman di dalam rimba, seputar 10 km arah timur laut dari Kota Solo. Jalan menuju ke pemakaman itu tak terlampau bagus. Jalannya berlubang-lubang serta sempit, seputar tiga sampai empat km dari kompleks pemakaman. Jauh dari kebisingan kota, situasi kompleks pemakaman ini sangatlah teduh. Suatu pohon besar berdiri tegak menaungi masjid kecil yang cukup tertangani. Jalan masuk menuju gerbang pemakaman yang berlapis semen juga rapi, bersih, serta bersahaja.
Di kompleks inilah terdapat makam penguasa Keraton Pajang (1550-1582), Sultan Hadiwijaya atauJaka Tingkir. Raja Pajang yang waktu saat kecil bernama Mas Karebet ini di kenal juga sebagai salah satu cikal bakal raja-raja Jawa. Pajang, kerajaan yang di pimpinnya, yaitu embrio kerajaan Mataram yang lalu berkembang lagi jadi Kesultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta. Untuk masuk ke sisi dalam kompleks pemakaman, pengunjung mesti melepas alas kaki.Di samping dalam kompleks pemakaman yang dikelilingi tembok itu ada kurang lebih 20 pusara.Sembilan pusara salah satunya ada didalam rumah tua yang ada didalam kompleks pemakaman. Pusara Joko Tingkir ada di bagian tengah rumah. Didalam rumah yang alasnya telah bertegel itu juga ada pusara orang-tua Joko Tingkir, yaitu Ki Kebo Kenanga serta Nyi Kebo Kenanga.
Terkecuali pusara, di halaman kompleks pemakaman ada kotak kaca yang di dalamnya diisi batang kayu yang telah kropos. Batang kayu tua ini dipercaya pernah digunakan Joko Tingkir pada era ke-16 waktu menuju Perlu lewat Bengawan Solo untuk berguru pada Ki Ageng Perlu. Sama juga dengan bapak Jaka Tingkir, Ki Kebo Kenanga, Ki Ageng Perlu juga berguru pada Syeh Siti Jenar, tokoh sufi yang dihukum mati oleh Wali Songo. Perjalanan hidup Jaka Tingkir yang pernah jadi raja mengakibatkan makamnya sering dikunjungi orang, dari mulai rakyat jelata sampai petinggi di daerah ataupun di pusat. Bahkan juga, banyak orang yang dengan cara spesial bersemadi sepanjang berhari-hari di makam yang dikira keramat.
Sisa perahu yang digunakan sebagai alat transportasi Jaka Tingkir menuju Demak. (gambar foto: dok.tpwi).
Banyak Penjiarah mengatakan, bahwa seorang raja Jawabukanlah orang sembarangan.Ia mesti kejatuhan wahyu kedaton terlebih dulu. Dengan kata lain, seorang mesti memperoleh anugerah dari kemampuan adikodrati saat sebelum menempati takhta kekuasaan. Kian lebih itu, seseorang raja juga mesti mempunyai kedekatan dengan kemampuan adikodrati Tidak mengherankan, cerita raja yang saat sebelum berkuasa memperoleh anugerahadikodrati serta berkemampuan membina jalinan dengan cara kontinu dengan penguasa alam gaib sangatlah kerap dijumpai dalam legenda raja Jawa.
Seseorang warga, mengakui pernah semedi di makam Jaka Tingkir sepanjang dua hari. Tidak ada hasrat apapun mengapa ia nglakoni (Nglaris) di makam itu. “Waktu itu malam Jumat Kliwon. Saya cuma mau tahu terasa lek-lekan (tak tidur semalaman) di makam. Saya cuma kuat semalam.” Dijelaskan, seseorang kerabat sempat juga melakukan semedi di kompleks pemakaman Jaka Tingkir, mampu sampai sebelas malam berturut-turut. Orang yang nglakoni di makam Jaka Tingkir umumnya memanglah didorong motivasi yang berbagai macam.
Walau jumlahnya makin sedikit, Nglaris tapa prihatin, sangatlah erat dalam kehidupan orang Jawa, terlebih mereka yang sungguh-sungguh menghayati kejawen. Bentuk Nglaris tapa, seperti puasa, menyepi, kungkum (berendam di mata air) waktu malam hari, dipercaya bisa menghantarkan orang untuk aneges karsa atau tahu kehendak Tuhan atas kehendaknya. Nglaris aneges karsa ini sesungguhnya sangatlah diperlukan manusia. Aktivitas, kebisingan, gelora nafsu dalam diri, bikin manusia sering tidak berhasil mengerti kehendak Yang Kuasa. Nglaris aneges karsa cuma dapat diraih melalui heneng, hening dan penuh dengan kerendahan hati.
Menurut sang juru kunci, sikap Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir waktu kalah dalam perang melawan Mataram (Sutawijaya), layak diteladani. Terlebih ketentuan Sultan Hadiwijaya yang membatalkan untuk membalas dendam, menunjukkan sikap pasrah pada kehendak Yang Kuasa. “Ia ingin rendah hati serta menyingkirkan nafsu kekuasaannya. Ia bersedia melakukan pekerjaan apa saja dalam kehidupannya, yaitu mengajar rakyat serta meningkatkan kebiasaan baru”.
57. Masjid Besar Kauman Sragen
Gerbang masuk Masjid Besar Kauman Sragen. (gambar foto: dok.tpwi).
Masjid ini merupakan masjid pertama dan tertua di sragen dan dibangun oleh penguasa kerajaan Surakarta atau dinasti Kasunanan, didirikan pada 1825 (tahun awal meletusnya perang diponegoro), menjadi potret sejarah masa lalu kerajaan Mataram Yogyakarta, yang lokasinya berada di lingkungan Kauman, Kelurahan Sragen Wetan.
Masjid Besar Kauman Sragen. (gambar foto: dok.tpwi).
Masjid ini dibangun oleh penguasa kerajaan Mataram Yogyakarta atau dinasti Kasultanan. Yang menjadi pengulon atau pemimpin agama pertama adalah Kyai Haji Zaenal Mustofa.
Bentuk asli masjid itu terletak pada ornamen dinding dan tiang utama atau soko guru, yang hingga saat ini masih dipertahankan meski sudah berkali-kali di renovasi, bagian yang berubah hanya pada atap dan lantainya.
Empat pilar utama Masjid Besar Kauman Sragen. (gambar foto: dok.tpwi).
Masjid ini merupakan cagar budaya yang tidak boleh dipugar.Meski ada beberapa yang sudah direnovasi, masjid ini tetap menunjukan sebagai masjid yang berciri khas, yakni empat pilar berbahan kayu jati, dengan ukiran untukmempercantik masjid tua itu. Ukiran-ukiran yang ada pada pilar masjid tersebut masih terlihat jelas dan berkesan menyimbulkan eksistensi Masjid Kauman hingga saat ini. Selain empat pilar masjid berbahan kayu jati, ada ciri khas lain yang terletak pada mimbar khutbah yang masih digunakan hingga saat ini. Dari ukiran dan tatahan menunjukkan adanya keterb atasan alat (masih menggunakan peralatan sederhana).
Menara Masjid Besar Kauman Sragen. (gambar foto: dok.tpwi).
Tak hanya pada bagian utama masjid, gapura Masjid Kauman yang berada di bagian depan bangunan terlihat berdiri kokoh sejak dulu hingga sekarang.
Salah satu titik lainnya di bagian kawasan masjid tersebut yang menjadi bagian dari sejarah adalah sejumlah makam pendiri dan pemelihara Masjid. Keberadaan makam para pendiri dan pemelihara merupakan wujud kesetiaan beragama dan Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Mimbar Khutbah (altar) Masjid Besar Kauman Sragen yang hingga kini masih digunakan. (gambar foto: dok.tpwi).
Makam itulah yang menunjukan bahwa ternyata sejarah pendirian Masjid Kauman Sragen memiliki keterkaitan dengan Keraton Kasunanan Surakarta.
58. Makam Kyai Srenggi
Makam Kyai srenggi, Sragen. (gambar foto: dok.tpwi)
Pada zaman dahulu, hanyalah sebuah desa. Terciptanya desa Sragen diawali dari kisah kerajaan Mataram di Kartasura yang pada waktu itu gempar karena seorang putera Pangeran Tepasana yaitu Raden Mas Garendi menentang kebijakan para narapraja Mataram, terutama terhadap Patih Pringgalaya yang sangat dekat dengan Kompeni Belanda. Kompeni Belanda terlalu jauh mencampuri urusan dalam kerajaan Mataram, Pangeran Tepasana ayahnya terpaksa dihukum mati tanpa jelas kesalahannya. Tidak aneh bila ia ingin membalas dendam. Dalam usaha itu dia mendapat bantuan dari orang-orang China di Kartasura serta sebagian abdi dalem narapraja Mataram.
Pada suatu hari, Raja Paku Buwana II berbincang-bincang dengan Tumenggung Alap-alap di DalemAgung. Pada waktu itu para narapraja terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu: pendukung Kanjeng Sunan atau Paku Buwana II, pendukung Patih Pringgalaya dan pendukung Raden Mas Garendi.
Nisan Kyai Srenggi (gambar foto: dok.tpwi).
Tumenggung Alap-alap menceritakan bahwa Raden Mas Garendi melakukan pemberontakan terhadap kompeni. Mendengar hal itu Kanjeng Sunan bingung harus memihak kepada siapa, dan Alap-alap mengusulkan untuk memihak Raden Garendi. Itu merupakan usaha untuk mengembalikan nama dan kewibawaan Sunan. Namun Sunan menolaknya dengan alasan senjata yang dimiliki orang Jawa hanya bambu runcing, keris, tombak, dan sejenisnya. Sedangkan yang dimiliki kompeni senapan dan mesiu yang kuat. Dan dia takut para prajurit dan rakyatnya mati sia-sia.
Setelah mendengar alasan Kangjeng Alap-alap dapat memetik suatu sikap Kanjeng yang tidak teguh pendirianya dandapat tebujuk oleh rayuan. Sikap seperti itu dapat membahayakan tumenggung sendiri sebagai narapraja Mataram.
Bila suatu saat sunan terkena bujuk rayu pringgalaya dan akhirnya membantu kompeni, patih bisa dengan mudah menyingkirkannya dari Bumi Mataram. Sabda kanjeng terus terdengar jelas di telingga Alap-alap, maka dari itu dia memutuskan dia berserta keluarganya harus pergi dari Kartasura untuk menghindari kemungkinan yang bisa terjadi yang dapat merugikannya.
Pada hari yang ditentukan, pergilah Tumenggung dari Surakarta. Malam harinya mereka berangkat ke arah timur di desa Kranggan di daerah Sukawati. Di sanalah Alap-alap mengangkat dirinya sebagai pendeta dengan nama Kyai Srenggi untuk kelancaran penyamarannya.
Sementara itu apsukan pemberontakan dibawah kekuasaan Raden Mas Garendi dan kapten sepajang pimpinan orang-orang Cina mengharap bantuan darisuna,sesuaijanji sunan sendiri. Namun bantuan itu takkunjung bahkan diketahui memihak kepada Kompeni. Menyaksikan hal itu ragen garedi marah dan akan mengadakan pemberontakan yang sanga brutal.
Kartasura bersimbah darahdanmayat-mayat bergelimpang disepanjang jalan. Rombongan kanjeng sunan pergi kearah timut yang dikawal oleh kompeni. Sesampai mereka didesa Laweyan dan perjalanan diteruskan ke panaraga. Akhirny pada tahun1742 kraton Kartasura jebol dan diangkatlah Raden Garendi menjadi sunan baru dengan gelar Sunan Kuning.
Sementara itu patih dan Kompeni belanda berkerja sama menglawan sunan Kuning sebagai imbalan peluasan wilayah. Dan skhirnya kapten wilhem pemimpin kompeni meminta bantuan ke Batawi. Tak lama kemudian bantuan itu datang, terjadilah pertempuran yang lebih dasyat lagi dari yang sebelumnya, kartasura porak poranda.Dan karena perlengkapan dan jumlah sedadukompeni lebih lengkap dan banyak, pasukan pemberontak kalah hebat. Sesudah sunan kuning Di singkirkan kanjeng sunan kembali menduduki tahtanya.
Seberapa bulan kemudian kanjeng bosan di Kartasura keadaan yang porak poranda. Setelah disuruh untuk mencari tempat yang baru, dipilihlah kota Sala sebagai calon kraton yang baru.
Pada waktu pangeran Mangkubumi yang menjadi salah satu pendukung Raden Garendi berasil lolos dari Surakarta, dia bersama keluarga dan beberapa prajurit dan bangsawan pergi dari Kartasura. Sampailah mereka di desa Kranggan, di sanalah pangeran mendapat kabar ada seorang brahmana sakti mandraguna yang bernama Kyai Srenggi. Pergilah mereka ke Kyai Srenggi untuk berkenalan dan mohon petunjuk.
Begitulah awal pertemuan Pangeran langsung menceritakan apa yang terjadi, bagaikan petir di siang bolong mendengar pengakuan Kyai bahwa ia sebernarnya adalah Tumenggung Alap-alap yang menjadi salah satu narapraja Mataram yang membenci kompeni.
Kemudian Pangeran Mangkubumi mengangkat Kyai sebagai senopati perangnya dan memintanya berganti nama kyai Ageng Sragen serta mengganti desa Kranggan menjadi desa Sragen.
59. Masjid Jami’ “Kyai Abdul Djalal Awal”
Masjid Jami’ “Kyai Abdul Djalal Awal” (Gambar Foto: dok.tpwi)
Sejarah Singkat Kaliyosojogopaten
Terletak disebelah utara kota Solo berjarak kurang lebih 15 Km terdapat sebuah dusun yang konon pada masa lalu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam. Tersebutlah sebuah tempat yang bernama Kaliyosojogopaten, atau dikenal hanya dengan sebutan Kaliyoso. Secara geografis, dusun Kaliyoso berada disebelah utara sungai Cemoro. Kawasan ini masuk dalam desa Jetis Karangpung, kecamatan Kalijambe, kabupaten Sragen. Bagaimanakan wilayah ini pertama kali dibuka menjadi sebuah pemukiman dan menjadi pusat penyebaran agama Islam, yang awal mulanya merupakan sebuah hutan lebat.
bedug dan kentongan kuno Masjid Jami’ Kaliosojogopaten. (gambar foto: dok.tpwi).
Pada kurun waktu dua setengah abad yang silam, dusun kaliyoso yang terletak kurang lebih 12 Km sebelah utara kota Solo itu bernama “Alas Jogopaten” (hutan Jogopaten). Dari beberapa sumber, sejarah kaliyoso dimulai dari seorang bernama Bagus Turmudi yang sejak kecil ikut kakeknya yang bernama Kyai Abdul Djalal (wafat dan dimakamkan di Pedan, Klaten). Bagus Turmudi ini kemudian hari terkenal dengan nama Kyai Abdul Djalal 1.
Mimbar yang digunakan untuk pidato terlihat masih baru, terlihat dari ukiran yang rapih dan menggunakan peralatan canggih. (gambar foto: dok.tpwi).
Setelah umurnya beranjak dewasa, Bagus Turmudi (Kyai Abdul Djalal 1) terus menambah dan memperdalam ilmu agamanya ke beberapa pesantren, diantaranya ke pesantren di daerah Surabaya, Semarang, dan akhirnya ke Pesantren Kyai Mojo, Baderan, seorang Kyai yang juga merupakan penasehat Pangeran Diponegoro. Di Pesantren itu pula beliau diambil menantu oleh salah seorang gurunya yang bernama Kyai Jumal Korib.
Pada perjalanan selanjutnya, untuk menyebarluaskan ilmu yang telah dipelajarinya, Ia diperintahkan oleh Guru yang sekaligus mertuanya untuk pergi ke suatu tempat di sebelah utara Surakarta dengan disertai rombongan beberapa teman.
Tiang penyangga atap menggunakan kayu jati bulat dengan jumlah yang cukup banyak. (gambar foto: dok.tpwi).
Perjalanan rombongan dimulai dari Mojo, Baderan melalui Surakarta, menyusuri Bengawan Solo terus ke arah timur, sesampai dipertemuan kali cemoro dengan bengawan solo kemudian perjalanan diteruskan ke arah barat menyusuri Kali Cemoro. Sesampainya di suatu tempat yang bernama “Watu Soye”, Kyai Abdul Djalal 1 beserta rombongan berdiam beberapa lamanya disana. Dan konon, di atas Watu Soye atau Watu Suci yang sangat besar yang terletak di tengah-tengah sungai cemoro itu (sampai sekarang masih dapat disaksikan keberadaannya dengan bekas tapak kaki Kyai Abdul Djalal 1) Beliau sering melakukan Sholat dan Munajat kepada Allah Ta’ala.
Pada suatu saat, ketika bermunajat kepada Allah swt, Beliau mendapat ilham agar melanjutkan perjalanan kesuatu tempat yang bernama “Grasak”. Setelah meninggalkan Watu Soye menuju barat, akhirnya Kyai Abdul Djalal 1 dalam keprihatinannya mendapatkan ilham dari Allah, bahwa disitulah tempat sebenarnya yang dituju (sebelah selatan dari Masjid Kaliyosojogopaten sekarang).
Ditempat inilah Beliau mulai melakukan rialat, sholat, puasa dan amalan-amalan lainya dengan harapan agar dalam membuka hutan grasak (alas jogopaten) dapat dilakukan dengan mudah dan selamat atas pertolongan Allah. Karena, konon katanya, di dalam hutan jogopaten inilah pusatnya para jin dan makhluk halus lainya, sehingga “Jogopaten” itupun menurut cerita berasal dari kata “Jogo Pati” atau berjaga-jaga untuk bersedia mati bila berani memasuki hutan tersebut.
Sambungan Soko dan blandar yang menyilang-silang sangat mengesankan dan indah untuk dipandang. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu orang jawa telah memiliki ilmu arsitektur yang cukup tinggi. Perhatikan gambar soko secara utuh dan gambar sambungannya. (gambar foto: dok.tpwi).
Setelah berhasil menerobos kedalam hutan dan membersihkannya, Beliau pertama kali mendirikan sebuah rumah, disusul dengan mendirikan sebuah surau (langgar) dan tempat mengajar agama Islam (Pondok Pesantren). Lambat laun tempat itu menjadi ramai dengan kehadiran orang-orang yang ingin mencari ilmu (nyantri). Disamping itu, beberapa orang keluarga Kyai Abdul Djalal 1 dan juga dari keluarga pengikutnya menyusul pula pindah ke tempat itu.
Asal Mula Nama “Kaliyoso”.
Pada sekitar tahun 1788 M, pada saat Surakarta Hadiningrat diperintah oleh Paku Buwana IV yang dikenal dengan sebutan Sinuhun Bagus, Sang Permaisuri Raja yang bertahtakan di Karaton Surakarta Hadiningrat itu sedang mengandung dan menginginkan (ngidam) ingin merasakan daging kijang. Untuk menuruti keinginan sang Permaisuri, Pakubuana IV beserta beberapa pejabat keraton pergi berburu ke hutan Krendowahono yang terletak di sebelah selatan hutan Jogopaten. Namun sayang, belum sempat mereka mendapatkan buruan kijang, secara gaib tiba-tiba saja PB IV hilang tanpa bekas, sehingga para pengikutnya menjadi gusar semua. Berhari-hari mereka mencari PB IV ke segenap penjuru hutan itu, namun sia-sia belaka. Sehingga pada suatu hari ada seorang penduduk disitu memberi petunjuk, bahwa diutara sungai ada seorang Kyai yang mungkin dapat dimintai pertolongannya untuk menemukan Pakubuana IV yang telah hilang.
Syahdan, setelah Kyai Yang tidak lain adalah Kyai Abdul Djalal 1 tadi dapat ditemui para pejabat keraton, beliau menyanggupi untuk membantu, akan tetapi bukan beliau sendiri yang akan mencari Pakubuana IV, tugas yang sangat berat itu dipercayakan pada seorang keponakannya yang bernama Bagus Murtojo (baca: Murtolo/Murtadlo). Benar juga, Bagus Murtojo atau lebih dikenal sekarang dengan nama Kyai Muhammad Qorib (makam diselatan kali Cemoro) dapat menemukan sinuhun Pakubuana IV dalam waktu yang sangat singkat yang selanjutnya dapat meninggalkan tempat yang angker itu dan pulang kembali ke Karaton Surakarta.
Pada suatu ketika, Pakubuana IV menemui Kyai Abdul Djalal 1 di kediamannya guna menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan yang pernah dilakukan dalam usaha menemukan kembali dirinya (Pakubuana IV). Pada saat itulah Pakubuana IV dihadapan Kyai Abdul Djalal 1 terlontar kata-katanya : “Tempat ini sekarang saya namai Kaliyoso”. Demikianlah asal mula nama Kaliyoso, sedang apa maksud dan arti sebenarnya, hingga sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Disamping memberikan nama Kaliyoso, Pakubuana IV juga memberikan tanah perdikan secukupnya untuk tempat mengembangkan ajaran agama islam. Beliau juga berkenan memberikan kenang-kenangan berupa sebuah mimbar dan pintu masjid serta benda-benda pusaka keraton berupa tombak dan keris, salah satu diantaranya adalah tombak “Kyai Ronda”. Kesemuanya itu dapat disaksikan keberadaannya sampai sekarang di Masjid Jami’ Kaliyosojogopaten.
Pada suatu ketika, Pakubuana IV menemui Kyai Abdul Djalal 1 di kediamannya guna menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan yang pernah dilakukan dalam usaha menemukan kembali dirinya (Pakubuana IV). Pada saat itulah Pakubuana IV dihadapan Kyai Abdul Djalal 1 terlontar kata-katanya : “Tempat ini sekarang saya namai Kaliyoso”. Demikianlah asal mula nama Kaliyoso, sedang apa maksud dan arti sebenarnya, hingga sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Disamping memberikan nama Kaliyoso, Pakubuana IV juga memberikan tanah perdikan secukupnya untuk tempat mengembangkan ajaran agama islam. Beliau juga berkenan memberikan kenang-kenangan berupa sebuah mimbar dan pintu masjid serta benda-benda pusaka keraton berupa tombak dan keris, salah satu diantaranya adalah tombak “Kyai Ronda”. Kesemuanya itu dapat disaksikan keberadaannya sampai sekarang di Masjid Jami’ Kaliyosojogopaten.
Adapun Bagus Murtojo atau Kyai Muhammad Qorib sendiri diambil atau diakui sebagai saudara angkat Pakubuana IV. Setelah Kyai Abdul Djalal 1 wafat, kedudukan sebagai pemimpin agama di Kaliyoso digantikan berturut-turut oleh Kyai Abdul Djalal 2, 3, dan 4 serta seterusnya serta pada anak turun Kyai Badul Djalal meskipun namanya tidak nunggak semi dengan Kyai Abdul Djalal. Akhirnya, guna mempertahankan kelangsungan kegiatan dakwah dan pendidikan agama di Kaliyoso, dibentuklah Yayasan Umat Islam Kaliyoso atau YAUMIKA.
60. MAKAM BUPATI SRAGEN I
Pintu Gerbang Makam Pilang Payung. (gambar foto: dok.tpwi).
Makam ini juga terkenal dengan sebutan Makam Pilang Payung merupakan makam para bupati pendahulu yang meng-awali berdirinya pemerintahan Kabupaten Sragen.Makam ini merupakan makam terpenting yang berada di kabupaten Sragen, dan menjadi tujuan utama dalam prosesi ziarah makam leluhur setiap memperingati Hari jadi Kabupaten Sragen.
Makam Pilang Payung. (gambar foto: dok.tpwi).
Terdapat pada sengkalan dengan gambar seekor ular dalam goa. Sengkalan adalah suatu gambar/kalimat yang bisa menunjukkan tahun kejadian.
Tahun 1799 pendirian Makam Pilang Payung bertepatan dengan wafatnya KRT Karto Wiryo (Bupati I Sragen).
Tahun 1799 pendirian Makam Pilang Payung bertepatan dengan wafatnya KRT Karto Wiryo (Bupati I Sragen).
Makam Penerus Bupati Pilang Payung. (gambar foto: dok.tpwi).
Asal Pilang Payung dari pohon Pilang yang bentuknya seperti Payung.
Bupati di Sragen :
Bupati di Sragen :
- KRT. Karto Wiryo
- KRT. Sumo Wicitro
- KRT. Wiryo Diprojo
- KRT. Citro Dirjo
- KRNTP Sumo Nagoro, yang terakhir sebelum Indonesia merdeka (baru dilanjutkan Bupati pilihan semenjak Indonesia merdeka tahun 1945).
Makam Pilang payung merupakan makam dari Bupati Sragen yang pertama sampai ketiga.
Makam Cucu Prabu Brawijaya yang bernama K.R.T. Karto Wiryo menurunkan tokoh-tokoh besar, termasuk Bupati Pertama Sragen R.T. Wirjodiprodjo. Makam-makam keturunan R.T. Wirjodiprodjo. Lokasi berada di Dusun Prampalan, Desa Krikilan, Kec. Masaran, Kabupaten Sragen.
61. MAKAM SYEIKH ZAKARIA
Makam Syeikh Zakaria berlokasi di dusun Kauman, Desa Masaran, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen. Makam ini adalah makam keramat dan merupakan makan islam tertua di pulau Jawa. Komplek pemakaman ini cukup luas dan kelihatan ada bekas masjid dan halaman masjid. Masjid tersebut tinggal bekasnya saja berupa pondasi dengan menggunakan bata merah berukuran besar. Sedangkan halaman masjid digunakan oleh masyarakat setempat untuk lapangan bulutangkis.
Oleh masyarakat makam ini masih dianggap wingit, hal ini dibuktikan masih ada penziarah yang datang ke tempat tersebut, terutama pada malam Jum’at. Syeih Zakaria adalah seorang penyebar agama Islam di Kauman dan guru agama Islam kepada masyarakat. Menurut cerita, banyak pula muridnya yang datang dari luar daerah.
Bangunan komplek makam semua terbuat dari bata merah, mulai dari pagar, nisan, dan bekas masjid. Hanya tiga nisan yang terbuat dari batu yang dibuat segi empat seperti bata merah.
Di sisi timur bekas bangunan masjid terdapat dua buah Yoni dalam posisi tengkurap. Kenapa Yoni tersebut tengkurap, mungkin saja hal ini ada hubungannya dengan kehidupan Syeikh Zakaria yang hidup membujang. Yoni merupakan lambang kesuburan dan Yoni diimajinasikan sebagai alat kelamin perempuan, oleh karena itu, Yoni diletakkan dalam posisi tengkurap.
Tanda batas bangunan yang telah lapuk dimakan usia. (gambar foto: dok.tpwi).
Ada yang berfikir tumpukan batu yang ada adalah sebuah candi dan dialih fungsikan menjadi masjid pada era berikutnya. Untuk hal tersebut sudah barang tentu memerlukan penelitian lebih lanjut. Dan untuk tujuan wisata keagamaan (ziarah), Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen harus memperhatikan dan nguri-uri, sehingga Makam Syeikh Zakaria bisa dijual kepada kelompok-kelompok pengajian agar dapat berziarah ke sana.
Makam ini memiliki halaman parkir yang cukup luas. Merupakan tanda bahwa dahulu makam ini memiliki pengikut yang cukup banyak. Sudah barang tentu, Syeikh merupakan gelar keagamaan yang di tanah Jawa adalah sebuah gelar di bawah Sunan. Sudah barang tentu kalau beliau memiliki pengikut yang cukup banyak. Namun kurun waktu mulai memudar hal ini terlihat bahwa makam tersebut seperti kurang terawat. Walau oleh pemerintah Daerah Kabupaten Sragen Makam ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
Tempat parkir yang oleh masyarakat dimanfaatkan untuk lapangan folly. (gambar foto: dok.tpwi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar